ilustrasi |
Seiring dengan pesatnya perkembangan
sains dan ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK) yang makin marak dewasa ini, telah
membawa kemajuan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan manusia, yang
berdampak timbulnya kebudayaan modern. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
di satu sisi membawa dampak positif seperti kemudahan-kemudahan di bidang
transportasi, telekomunikasi serta informasi. Namun di sisi lain kemajuan IPTEK
juga akan membawa dampak negatif. Berbagai problem kemanusiaan yang sangat
menggelisahkan bermunculan di mana-mana, seperti pencemaran lingkungan hidup,
terjadinya dekadensi moral, pembunuhan dan berbagai macam persoalan kemanusiaan
yang lain. Sikap hidup yang dipenuhi dengan kegelisahan inilah yang nampaknya
menjadi fenomena manusia modern.
Ketegangan-ketegangan yang
terjadi pada zaman modern ini antara lain disebabkan karena, persaingan hidup
semakin ketat dan keadaan yang tidak stabil. Akibat meningkatnya
kebutuhan-kebutuhan pada masyarakat modern itu maka orang dalam kehidupannya
selalu mengejar waktu, mengejar benda, mengejar prestasi. Semuanya itu akan
membawanya kepada hidup seperti mesin, tidak mengenal istirahat dan
ketentraman. Hidupnya dipenuhi oleh ketegangan perasaan (tension) karena
keinginannya untuk menghindari perasaan tertekan. Jika tidak tercapai semua
yang tampak menggembirakan itu. Akibat
lebih lanjut adalah timbulnya kegelisahan-kegelisahan (anxiety) itu akan
menghilangkan kemampuan untuk merasakan kebahagiaan di dalam hidupnya.[1]
Di samping persoalan di atas, modernisasi
akan membawa manusia pada kehidupan yang serba materi (materialistik) yang pada
akhirnya akan menimbulkan adanya dehumanisasi (pengingkaran kemanusiaan) yang
dapat berwujud dengan meningkatnya kriminalitas, penindasan, korupsi,
kesewenang-wenangan yang pada akhirnya akan muncul berbagai gangguan kejiwaan
yang lain.
Dr. Kartini Kartono,
seorang psikolog mengatakan bahwa:
“Masyarakat modern yang memburu
keuntungan komersial dan penuh kompetisi itu banyak mengandung unsur eksplosif.
Akibatnya, tidak sedikit penduduknya yang menderita ketegangan syaraf dan
mengalami stres atau tekanan-tekanan batin, yang meledak menjadi simptom
penyakit mental. Kebudayaan modern yang penuh revalitas dan pacuan ini
menampilkan diri dalam bentuk kebudayaan eksplosif yaitu “high tension culture”
(kebudayaan bertegangan tinggi), di mana orang-orangnya dengan luapan emosi dan
ketegangan batin yang tinggi asyik berebut-rebutan dan berlomba-lomba
memperoleh kemewahan material.[2]
Ditambah pula dengan pengaruh media
massa seperti koran, film, makalah, TV dan iklan yang semuanya merangsang, maka
kebudayaan modern ini menuntut adanya standar hidup tinggi dan kemewahan
materiil. Jika keinginan dan usaha mendapatkan kemewahan, kedudukan sosial dan
kekuasaan tidak tercapai, maka timbullah rasa malu, takut, bingung, cemas dan
rendah diri. Semua ini menjurus pada frustasi, kekecewaan-kekecewaan, gangguan
batin, serta macam-macam penyakit mental.[3]
Hal senada juga
diungkapkan oleh Zakiah Daradjat, bahwa :
“Pada zaman modern ini kesenangan dan
segala fasilitas hidup hampir terpenuhi, tidak ada alasan untuk mengeluh dan
menderita. Tapi apa yang terjadi ? kesenangan dan fasilitas hidup yang cukup
itu tidak mampu mendatangkan kebahagiaan. Bahkan yang tampak mewarnai zaman
modern ini adalah kecemasan, kegelisahan dan kehilangan ketentraman batin, yang
menimbulkan bermacam-macam problem dan kontradiksi-kontradiksi.[4]
Kurangnya kebutuhan mental bagi manusia
akan sangat berbahaya dari pada kurangnya kebutuhan jasmani, karena kurangnya
kebutuhan mental akan menyebabkan tidak berjalannya fungsi-fungsi kejiwaan
seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup.
Menurut Organisasi
Kesehatan Sedunia atau World Health Organization (WHO) : “Health is state of
complete physical, mental, and social wellbeing, not merely the absence of disease
or infirmity”. Yang disebut sehat ialah “keadaan sejahtera sempurna jasmani,
mental dan sosial, tidak hanya tanpa adanya penyakit dan kelemahan saja”. Jadi,
untuk disebut sehat harus dipenuhi tiga syarat ialah jasmani, mental dan sosial
harus sehat. Mereka yang jasmaninya sehat tetapi tinggal dipenjara tidak
disebut sehat. Karena mentalnya sakit sehingga diopname di penjara karena
kejahatan. Begitu juga yang jasmaninya sehat dan mentalnya sehat tetapi tinggal
di kolong jembatan. Mereka tidak dapat disebut sehat, karena sosialnya sakit
dan seharusnya mereka di rawat ditempat penampungan orang-orang fakir miskin.[5]
Masyarakat modern yang
sangat kompleks itu menumbuhkan aspirasi-aspirasi materiil tinggi dan sering
disertai oleh obsesi-obsesi sosial yang tidak sehat. Dambaan pemenuhan
kebutuhan materiil yang melimpah misalnya untuk memiliki harta kekayaan dan
barang mewah tanpa mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan jalan wajar,
mendorong individu untuk melakukan tindak kriminal. Dengan kata lain bisa
dinyatakan jika terjadi diskrepansi (ketidaksesuaian, pertentangan) antara
ambisi-ambisi dengan kemampuan pribadi, maka peristiwa sedemikian ini mendorong
orang untuk melakukan tindak kriminil. Atau jika terdapat diskrepansi antara
aspirasi-aspirasi dengan potensi-potensi personal, maka akan terjadi “maladjustment”
ekonomis (ketidakmampuan menyesuaikan diri secara ekonomis), yang mendorong
orang untuk bertindak jahat/melakukan tindak pidana.[6]
Kejahatan/kriminalitas
itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan), juga
bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh
siapapun juga, baik wanita maupun pria, dapat berlangsung pada usia anak,
dewasa ataupun lanjut umur. Tindak kejahatan itu bisa dilakukan secara sadar,
yaitu difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada satu maksud tertentu secara
sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya didorong
oleh impuls-impuls yang hebat, didera oleh dorongan-dorongan paksaan yang
sangat kuat (kompulsi) dan oleh obsesi-obsesi. Kejahatan bisa juga dilakukan
secara tidak sadar sama sekali. Misalnya, karena terpaksa untuk mempertahankan
hidupnya, seseorang harus melawan dan terpaksa membalas menyerang, sehingga
terjadi peristiwa pembunuhan.[7]
Untuk mengatasi
krisis mental di muka, para psikolog dan psikiater telah mengupayakan secara
sungguh-sungguh bagaimana mengembalikan dan menempatkan manusia agar mereka
dapat mengaktualisasikan diri dan berperan secara optimal serta memperoleh
kebahagiaan di tengah percaturan dunia yang amat kompetitif ini.
Demikian pula
masyarakat muslim kini semakin greget untuk mencari jawaban alternatif
psikologis yang bersumber dari pedoman utama, yaitu Alqur’an.
Alqur’an penuh dengan
pedoman dan petunjuk Allah dalam segala hal. Dalam kesehatan mental, banyak
sekali ayat-ayat Alqur’an yang dapat diamalkan. Baik untuk pengobatan mental
maupun untuk pencegahan terhadap gangguan mental.[8]
Dalam hal ini
Alqur’an mempunyai fungsi sebagai Hudan (petunjuk), Rahmah (kasih
sayang) dan Syifa’ (obat penawar) atas segala problem kejiwaan yang
bersemayam dalam badan manusia. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Yunus
ayat 57 :
Artinya : “Hai manusia, telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit dalam dadamu dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Q.S. Yunus : 57)[9]
Zakiah Daradjat berpendapat, “jika ahli
jiwa secara umum berkesimpulan bahwa di antara penyebab gangguan dan penyakit
jiwa adalah hilangnya ketentraman mental”. Maka Alqur’an menyeru kepada manusia
untuk menentramkan hatinya dengan mengingat Allah.[10]
Hal ini juga diperkuat dengan firman Allah SWT. Q.S. Ar-Ra’d: 28 :
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan ingat kepada Allah hati menjadi tentram”. (Q.S. Ar-Ra’d: 28)[11]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa
ingat kepada Allah merupakan manifestasi keimanan yang dapat membawa
ketentraman mental, ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya lupa kepada Allah
dan terlalu cinta pesona duniawi mengakibatkan timbulnya gangguan mental karena
ia terlalu menforsir segala daya dan upayanya untuk memuaskan keinginannya itu.
Menurut Dr. M. Utsman
Najati, ingat di samping mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan
ilmiah dan praktis manusia, juga amat penting dipandang dari segi agama. Sebab,
manusia yang selalu ingat pada Allah, akan karunia dan nikmat-Nya, akan
akhirat, hari perhitungan, imbalan dan azab yang akan menantinya, akan selalu
bertaqwa, beramal shaleh dan berhiasi dengan akhlak yang luhur. Dengan
demikian, ingat merupakan hal yang berguna bagi manusia dalam merealisasikan
kebajikan.[12]
Sebaliknya, lupa
menurut sebagian ayat alqur’an, syetan melihat bakat manusia untuk lupa sebagai
jalan untuk mempengaruhinya. Bakat inilah yang kadang-kadang membuat manusia
lupa akan hal-hal penting yang bermanfaat bagi dirinya. Pun kadang-kadang
membuatnya lalai akan Allah dan mengabaikan perintah-perintah-Nya.[13]
Unsur terpenting,
yang membantu pertumbuhan dan perkembangan mental manusia adalah iman yang
direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Maka dalam Islam prinsip pokok yang
menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman, karena iman itu yang menjadi
pengendali sikap, ucapan, tindakan dan perbuatan. Tanpa kendali tersebut akan
mudahlah orang terdorong melakukan hal-hal yang merugikan dirinya atau orang
lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan, yang akan menyebabkan
terganggunya kesehatan mentalnya.[14]
Ajaran Islam memiliki
hubungan yang erat dengan ilmu jiwa dan pembinaan mental. Keduanya sama-sama bertujuan
untuk mencapai kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila
dalam ajaran Islam banyak pendapat, petunjuk dan ketentuan yang berhubungan
dengan pembinaan mental.
Dengan sendirinya
dapat dikatakan bahwa semua misi dari ajaran Islam yang berintikan pada ajaran
aqidah, ibadah, syari’at dan akhlak pada dasarnya adalah mengacu kepada
pembinaan mental.
Dalam ajaran Islam
ada beberapa metode (jalan atau cara) yang ditempuh dalam melaksanakan
pendidikan akhlak dan pembinaan mental spiritual. Salah satu di antaranya
adalah metode spiritualisasi (tazkiah al-nafs, pembentukan jiwa Islam).[15]
Agama merupakan sumber
abadi bagi pembinaan mental spiritual manusia, sehingga sangat relevan jika
digunakan sebagai bahan pembinaan mental narapidana. Karena narapidana pasti
mengalami problem psikologis, karena terdorong oleh perasaan bersalah, merasa
rendah diri, merasa dikucilkan dari masyarakat, merasa kesepian, merasa gelisah
dan sebagainya, apalagi setelah kembali ke masyarakat. Maka fungsi agama Islam
lebih diharapkan berperan untuk memberikan dorongan mental dalam menghadapi
kehidupan selanjutnya setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.
[1] Fatah Syukur, Psikoterapi dengan Pendekatan Islami,
Jurnal Pendidikan Islami, Volume 10, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Mei
2001, hal. 83
[2] Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari, Hygieine
Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Mandar Maju, Bandung, 1989,hal. 22
[3] Dr. Kartini Kartono, Patologi Sosial 3
Gangguan-gangguan Kejiwaan, Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 11
[4] Dr. Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam
Pembinaan Mental, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 100
[5] Dr. R.H. Su’dan
M.D.S.K.M., Alqur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Jakarta, 1997, hal. 100
[6] Dr. Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid
I, Rajawali, Jakarta, 1992, hal. 122
[7] Ibid.
[9] Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., dkk., Alqur’an dan
Terjemahnya, Depag. RI. Gema Risalah Press, Bandung, 1986, hal. 315
[10] Dr. Zakiah Daradjat, Op.Cit., hal. 103
[11] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op.Cit.,
hal. 373
[12] Dr. M. Utsman Najati, Alqur’an wa Ilmu
Al-Nafs, Terj. Ahmad Rofi
Utsmani, alqur’an dan Imu Jiwa,
Pustaka, Bandung, 1985, hal. 226
[13] Ibid., hal. 231
[14] Dr. Zakiah Dardjat, Op.Cit., hal. 11
[15] Dr. Yahya Jaya, M.A., Spiritualisasi Islam dalam
Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Ruhama, Jakarta, 1994,
hal. 6-7
0 Komentar